02 Juni 2008

MENDAMPINGI YANG AKAN MATI/DIPANGGIL TUHAN dan YANG DITINGGALKAN

"Eloi, Eloi, lama sabakhtani?", yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk15:34), demikian seruan nyaring Yesus ketika akan wafat. Yesus adalah Tuhan dan ketika akan wafat Ia ditinggalkan oleh sahabat-sahabatNya, para rasul, yang selama kurang lebih tiga tahun menyertaiNya. Ketika Yesus ditangkap oleh musuh-musuhNya dan kemudian digiring ke puncak Golgota untuk disalibkan para sahabatNya meninggalkan Dia, bersembunyi ketakutan dan Yesus sendirian saja menghadapi derita dan kematian, akhir hidupNya sebagai manusia di dunia ini. Maka kiranya wajar sebagai manusia ketika berada di puncak penderitaan serta menjelang wafatNya Ia merasa ditinggalkan oleh semuanya. Memang menghadapi kematian atau menjelang dipanggil Tuhan pada umumnya orang gelisah dan takut dan dalam kegelisahan serta ketakutan dapat muncul dua kemungkinan sebagaimana dialami oleh dua penjahat yang disalibkan bersama Dia. Menjelang kematian penjahat yang satu marah-marah serta mengejek Yesus seperti yang dilakukan oleh musuh-musuhNya dengan berkata:"Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!"(Luk23:39), dan penjahat yang lain dengan rendah hati dan lemah lembut penuh dengan penyerahan diri berkata :"Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja."(Luk23:42). Memberontak atau menyerahkan diri itulah kemungkinan sikap hati mereka yang akan dipanggil Tuhan, menjelang kematiannya. Sebagai orang beriman kiranya kita semua berharap, entah kita sendiri atau saudara kita, ketika akan dipanggil Tuhan bersikap lemah lembut dan rendah hati penuh penyerahan diri seperti penjahat yang bertobat : “Yesus, ingatlah akan aku, apabil Engkau datang sebagai Raja” . Agar dapat terjadi demikian tentu saja kita sendiri harus senantiasa siap-sedia sewaktu-waktu dipanggil Tuhan dan kepada saudara kita yang akan dipanggil Tuhan kita dampingi dan temani, jangan ditinggalkan sendirian. Dan ketika yang bersangkutan telah dipanggil Tuhan pendampingan kemudian diarakan bagi mereka yang ditinggalkan.

Mendampingi yang akan mati/dipanggil Tuhan

Sebagaimana terjadi dalam diri atau dialami oleh Yesus, orang yang mau segera mati atau dipanggil Tuhan pada umumnya gelisah. Kegelisahan tersebut dapat begitu hebat sampai merepotkan mereka yang menunggui (dalam bahasa Jawa disebut ‘mecati’) , dimana gerakan kaki, tangan dan kepala kuat luar biasa melebihi ketika ia masih hidup sehat. Ketika yang menunggui atau menemani tak kuasa mengatur dan menguasai gerakannya yang luar biasa tersebut maka ketika yang bersangkutan telah mati atau menjadi jenazah masih merepotkan juga antara lain bagaimana mengatur kaki, tangan dan mulut agar yang bersangkutan nampak sedang tidur tenang. Sebaliknya ada orang yang mau mati kegelisahannya kurang begitu nampak dan yang demikian ini pada umumnya mudah didampingi juga; ketika yang bersangkutan telah mati atau menjadi jenazah mungkin nampak lebih cantik atau cakep daripada sebelumnya.

Mendampingi yang mau mati atau dipanggil Tuhan atau berpastoral bagi sesama yang berada di batas kehidupan memang cukup penting dan sering dilupakan. Berpastoral bagi atau mendampingi sesama yang berada di batas kehidupan rasanya harus penuh kegembiraan dan senyuman, tentu saja tidak dengan hura-hura melainkan dengan lemah lembut dan rendah hati. Jauhkan penampilan atau kehadiran diri yang nampak sedih dan murung. Mengapa mendampingi mereka yang berada di batas kehidupan harus gembira? Sebagai orang beriman kiranya kita percaya bahwa mati atau dipanggil Tuhan berarti dianugerahi kemurahan hati untuk mendiami rumah masa depan bersama Tuhan. Iman yang demikian ini perlu dibisikkan pada mereka yang berada di batas kehidupan atau segera dipanggil Tuhan.


“Baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.”(Rm14:8), demikian kesakian iman Paulus yang sekiranya juga menjadi iman kepercayaan kita. Hidup kita memang milik Tuhan karena kita diciptakan oleh Tuhan dan kita semua kiranya tidak menghendaki untuk hidup. Masing-masing dari kita diciptakan oleh Tuhan dengan bantuan dan kerjasama orangtua kita masing-masing. Semua kita dikandung dalam kehangatan dan kemesraan di rahim ibu, kemudian dilahirkan, disusui, diberi makan, dimandikan, ditidurkan, digendong, dididik dan diajar entah di rumah atau di sekolah, selesai belajar diberi pekerjaan dan digaji atau diberi imbal jasa, ditegor, dipuji, dimarahi, dihormati …dst… akhirnya mati alias dipanggil Tuhan. Kematian juga bukan menjadi kehendak atau kita keinginan kita melainkan kehendak atau anugerah Tuhan. Mati atau dipanggil Tuhan berarti dianugerahi hidup abadi yang dijanjikan, hidup mulia dan bahagia bersama Tuhan dalam keabadian di sorga. Keyakinan iman macam itu kiranya layak menjadi milik kita dan kita hayati serta kita sampaikan kepada sesama kita yang segera dipanggil Tuhan. Dengan demikian kepada sesama atau saudara kita yang dipanggil Tuhan kita ucapkan dengan penuh syukur: “Selamat jalan memasuki rumah idaman dan beristirahat bersama Tuhan”.

Mendampingi mereka/keluarga yang ditinggalkan

Mendampingi keluarga atau sanak-kerabat yang ditinggalkan juga sangat penting, entah pada saat-saat menjelang dan setelah kematian saudaranya. Pada saat-saat menjelang kematian saudaranya kiranya cara pendampingan tidak berbeda atau mirip dengan mendampingi mereka yang akan mati atau dipanggil oleh Tuhan. Mendampingi saudara/keluarga yang telah ditinggalkan, segera setelah kematian saudaranya juga sangat penting, antara lain bagaimana mengurus pemakaman saudaranya yang baru saja dipanggil Tuhan.

Menjelang kamatian saudara atau anggota keluarganya mungkin orang sudah mempersiapkan diri segala macam untuk upacara pemakaman, tetapi kiranya kebanyakan orang kurang siap karena kematian saudara atau anggotanya keluarganya datang dengan tiba-tiba atau selama mendampingi mereka yang sedang sakit tidak berharap yang bersangkutan segera dipanggil Tuhan. Di beberapa rumah sakit di Jakarta, sejauh saya dengar dari sana-sini, nampaknya yang lebih siap untuk upacara pemakaman dengan segala keperluannya antara lain para ‘pegawai’ atau ‘makelar’ rumah duka tertentu yang memang ditugaskan sebagai ‘petugas marketing’. Mereka ini sering ‘menempel’ pada anggota keluarga yang salah satu saudaranya atau anggota mendekati dipanggil Tuhan. Jika anggota keluarga tidak didampingi dalam rangka mempersiapkan upacara pemakaman, kiranya mereka akan menjadi ‘sasaran empuk’ dari para ‘petugas marketing’ ini. Mereka ini adalah ‘petugas’ dari rumah duka yang memang sungguh bersifat komersial di kota metropolitan Jakarta ini.

Bagaimana strategi marketing atau cara-cara mereka mencari ‘konsumen’ rumah duka? Ada rumor yang mengatakan bahwa ‘orang mati tidak dapat menawar’; memang kalau sudah mati menjadi mayat tidak dapat berbuat apa-apa. Rasanya yang tidak dapat atau tidak boleh menawar ini tidak hanya yang telah dipanggil Tuhan tetapi juga para anggota keluarga atau sanak-saudaranya. Rumor inilah kiranya yang menjadi ‘senjata’ para petugas marketing rumah duka. Pendampingan anggota keluarga dari yang telah dipanggil Tuhan ini perlu, jika tidak didampingi mereka dapat menjadi ‘korban’ dari sindikat penjualan peti jenazah dan mereka yang beemental cari kesempatan dalam kesempitan (dalam bahasa Jawa : “nulung menthung’ = menolong dengan memukul).

Info dari sana-sini dan juga dari ‘konsumen’ beberapa rumah duka, antara lain dapat saya gambarkan bagaimana para ‘petugas marketing’ rumah duka tersebut beraksi serta jeratan dari rumah duka terhadap keluarga dimana salah satu anggotanya disemayamkan di rumah duka tersebut:

A. . Jika salah satu anggota keluarga anda dipanggil Tuhan, entah suami, isteri atau anak, kiranya pada saat setelah anggota keluarga anda dipanggil Tuhan anda pasti dalam kondisi sedih, murung dan bingung. Dalam kondisi demikian ada orang yang datang untuk menawarkan ‘jasa baik’, yaitu ingin menolong upacara pemakaman sebaik mungkin. Pertama-tama mereka akan mengucapkan simpati ikut berduka cita, kemudian bertanya apakah sudah ada yang mengurus upacara pemakaman dan jika belum ada yang mengurus maka mereka siap sedia untuk menolongnya. Tawaran yang simpatik tersebut pasti akan ‘menaklukkan’ anda yang sedang berduka karena kematian saudara anda, dan dengan penuh kepercayaan tanpa pikir panjang (yang tidak mungkin dilakukan) anda segera menerima tawaran tersebut. Para ‘petugas marketing’ akan menawarkan kepada anda sesuatu yang nampak simpatik, antara lain/misalnya: harga peti Rp.15.000.000 atau Rp.20.000.000 dilengkapi dengan ‘hadiah’ gratis mobil jenasah sampai selesai upacara pemakaman dst.. Hendaknya saudara-saudari sekalian memahami ini: mereka telah menaikkan harga peti berlipat ganda , jika tidak percaya kepada anda yang tinggal di Jakarta silahkan dicek atau bandingkan harga peti di rumah duka dengan melihat data yang ada di rumah duka St.Carolus Jakarta. Saya pernah mendengar peti di rumah duka St.Carolus Jakarta dihargai Rp.8.000.000,- ternyata di rumah duka lain dihargai lebih dari Rp.15.000.000,-. Perihal harga peti ini ada info yang menarik:

Sebut saja namanya Parta (samaran). Anggota keluarga Parta dipanggil Tuhan dan atas inisiatif beberapa orang jenasah di rumah duka “Yudas” (samaran). Salah satu anggota keluarga Parta setelah mendengar harga peti di rumah duka “Yudas” tersebut dirasa terlalu mahal, maka ia minta kepada rumah duka yang bersangkutan untuk membawa peti sendiri alias membeli peti dari luar rumah duka tersebut yang lebih murah (maklum rumah duka “Yudas” hanya menawarkan peti yang berharga tinggi). Ketika ia menyampaikan permohonan tersebut memperoleh jawaban dari petugas rumah duka “Yudas” yang cukup menyakitkan hati :” Maaf Pak, apakah bapak jika masuk ke rumah makan atau restoran juga membawa makanan sendiri?“. Dengan kecewa keluarga Parta mendengar jawaban tersebut dan harus membayar peti yang mahal harganya.

Pastor “Petrus’ (samaran) dirawat di RS St.Carolus – Jakarta dan ketika dipanggil Tuhan segala macam kebutuhan pemakaman dilayani oleh rumah duka St.Carolus juga, dengan kata lain jenasahnya dimakamkan di rumah duka St.Carolus. Peti jenazah disediakan oleh rumah duka St.Carolus. Ketika jenazah pastor Petrus pada malam harinya disemayamkan di gereja tempat pastor tersebut berkarya, beberapa umat rasan-rasan atau ngrumpi: “Wah peti pastor Petrus bagus, pasti mahal harganya, paling tidak Rp.15.000.000,-“. Mendengar hal ini salah seorang dari mereka, yang tahu atau kenal rumah duka St.Carolus berkata: “Ah tidak semahal itu, jika tidak percaya nanti lihat saja kwitansinya!”. Dan memang setelah dicek di kwitansi harga peti tidak Rp.15.000.000,- melainkan Rp.8.000.000,-

Selain harga peti juga ada info menarik, yaitu perihal ‘karangan bunga’ sebagai partisipasi ungkapan dukacita. Ada rumah duka yang menolak pengiriman ‘karangan bunga’ dari luar rumah duka yang bersangkutan, dengan kata lain jika hendak mengirimkan ‘karangan bunga’ hendaknya pesan pada rumah duka yang bersangkutan, di mana jenazah disemayamkan. Katanya boleh mengirimkan ‘karangan bunga’ dari luar tetapi ada tambahan beaya administrasi yang tidak kecil jumlahnya. Dengan kata lain berbagai kebutuhan perlengkapan atau untuk memberi simpati bagi yang berduka harus diusahakan melalui rumah duka yang bersangkutan.

Bagaimana atau macam apa pelayanan yang dihaturkan dari rumah duka St.Carolus – Jakarta kepada mereka yang saudara atau anggota keluarganya meninggal dunia dan disemayamkan di rumah duka St.Carolus?

1) Pada prinsipnya rumah duka St.Carolus – Jakarta hanya menyediakan tempat alias ruangan, dan maklum ruangan tidak berudara dingin alias tidak pakai AC, agar murah dan dapat terjangkau oleh mereka yang miskin dan berkekurangan. Ada orang yang mengeluh perihal ini, katanya layat di rumah duka St.Carolus panas gerah dst.. Kepada mereka yang mengeluh macam itu hendaknya merenungkan pertanyaan ini :”Dimana di kampung atau kota tempat tinggal masing-masing ketika ada pelayatan maka para pelayat memperoleh tempat nikmat? Bukankah mereka duduk-duduk di jalanan atau dibawah tenda yang terasa panas juga?”. Ingatlah ketika Yesus wafat Dia berada di puncak bukit Golgota dan mereka yang datang melayat berada di ruang terbuka beratapkan langit yang luas!

2) Selain ruangan rumah duka St.Carolus juga menyediakan paket pelayanan yang ditawarkan alias dapat dipilih dan dipakai atau tidak, antara lain (data pelayanan saat ini)

a. Ruang + 40 kursi +lilin = Rp.280.000,- /hari/tanggal

Kapel + 80 kursi + lilin = Rp.530.000,-/hari/tanggal

b. Dekorasi ruang (dapat dicarikan oleh rumah duka dengan harga sesuai dengan pasar)

c. Mobil jenasah ke TPU/krematorium (DKI) : Rp. 350.000,-

d. Mobil jenasah ke TPU/krematorium (Depok, Bekasi, Tangerang) : Rp. 450.000,-

e. Mobil jenasah ke TPU Bogor dan Karawang : Rp. 550.000,-

f. Perawatan jenasah (perempuan) : Rp. 250.000,-

g. Perawatan jenasah (laki-laki) : Rp. 200.000,-

h. Pengawetan jenasah (di-formalin) : Rp. 550.000,-

i. Vooreider/pengawal polisi : Rp. 400.000,-

j. 2 vas meja, corsase 12 pc, bunga salib dendra, bunga tabur 3 krj: Rp. 635.000,-

k. Kartu ucapan buku tamu, aqua, tissue, kacang, piring, kunci kotak, spidol, white board, eau de cologne, kopi : Rp. 239.000,-

l. Administrasi : Rp. 55.000,-

m. PETI JENASAH (lihat gambar terlampir)

Aneka pelayanan yang ditawarkan ini juga dapat diusahakan sendiri oleh keluarga atau sanak –kerabat dari mereka yang meninggal dunia dan disemayamkan di rumah duka St.Carolus.

Rumah duka St.Carolus juga melayani alias dapat membantu mengusahakan angkutan seperti bus atau pesawat terbang bagi mereka yang menghendakinya

3) Catatan kecil namun sering meresahkan adalah masalah parkir. Rumah duka St.Carolus memang tidak memiliki tempat/lahan parkir yang memadai. Namun anda kiranya juga dapat memarkir kendaraan anda di lahan parkir rumah sakit St.Carolus, dan kemudian dari lahan parkir tersebut berjalan kaki ke rumah duka. Jalan kaki tidak jauh dan sehat, sekaligus berolahraga.


B. Selain pendampingan dalam hal duniawi atau aneka kebutuhan untuk upacara pemakaman kiranya juga perlu diusahakan pendampingan pastoral bagi keluarga atau saudara yang ditinggalkan atau pendampingan spiritual. Pendampingan ini mungkin dapat disampaikan secara informal artinya omong-omong biasa tetapi juga secara formal alias dalam atau melalui sambutan, kotbah dalam upacara atau ibadat. Sebagai umat Kristiani, yang percaya kepada Yesus Kristus, pertama-tama apa yang saya coba uraikan secara sederhana di atas, kutipan dari surat Roma, dapat disampaikan dan mungkin juga dapat ditambahkan renungan dari Warta Gembira ini: “Ya Bapa yang adil, memang dunia tidak mengenal Engkau, tetapi Aku mengenal Engkau, dan mereka ini tahu, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku; dan Aku telah memberitahukan nama-Mu kepada mereka dan Aku akan memberitahukannya, supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka." (Yoh17:25-26)

Kutipan di atas adalah doa Yesus kepada Bapa di sorga bagi murid-muridNya, bagi kita semua. Doa tersebut kiranya juga menjadi doa dari mereka/saudara kita yang telah dipanggil Tuhan, yang telah hidup mulia bersama Yesus di sorga. Hidup bahagia mulia bersama Yesus di sorga terjadi bukan karena usaha, jerih payah atau keringat manusia, melainkan semata-mata merupakan anugerah Allah. Dari mana dasar iman kepercayaan ini? Mengenangkan atau mendoakan mereka yang telah meninggal hendaknya dikenangkan juga ketika Yesus wafat di puncak kayu salib. Bukankah ada dua penjahat yang disalibkan bersamaNya dan ada satu penjahat yang bertobat dengan mohon kepada Yesus : "Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” (Luk23:42). Dan Yesuspun segera menanggapi dengan berkata kepadanya : "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk23:43). Keduanya langsung dipanggil oleh Tuhan Allah, hidup bahagia mulia di sorga. Secara logis dan matematis kita dapat berkata: “Jika penjahat sebesar itu bertobat dan memperoleh kasih pengampunan dan kemurahan hati Allah, apalagi saudara kita yang tidak sejahat itu”. Dengan kata lain kita beriman bahwa saudara kita yang dipanggil Tuhan telah hidup bahagia mulia di sorga. Memang kita tidak tahu persis apa yang dikatakan oleh saudara kita ketika berhadapan secara pribadi dengan Tuhan yang memanggil , pada saat-saat terakhir hidupnya, tetapi sebagai orang beriman kita percaya saudara kita pasti berdoa dengan rendah hati dan penyerahan diri seperti penjahat tersebut : “Yesus, ingatlah akan aku apabila Engkau datang sebagai Raja”

Jika kita beriman bahwa saudara kita yang dipanggil Tuhan telah hidup mulia bersama Yesus di sorga, maka hemat saya kita tidak hanya mendoakan saudara kita tersebut sebaliknya sebenarnya saudara kita yang telah dipanggil Tuhan senantiasa mendoakan kita semua yang ditinggalkan. Doa saudara kita tersebut mirip atau meneladan doa Yesus sebagaimana saya kutipkan di atas. Maka saudara-saudari kita yang telah dipanggil Tuhan atau meninggal dunia senantiasa berdoa bagi kita semua kurang lebih seperti ini:

“Bapa yang adil, orang yang bermental duniawi atau materialistis pasti tidak mengenal Engkau, sebagai Pencipta dan Penyelamat. Tetapi mereka tahu bahwa Engkau telah menciptakan aku untuk hadir di antara mereka, hidup bersama mereka dan berusaha melayani mereka. Aku dengan segala kelemahan dan kekuranganku telah berupaya untuk mengasihi mereka sebagaimana Kau ajarkan kepadaku dan Kau laksanakan padaku. Aku juga akan terus tetap mengasihi mereka dengan mendoakannya agar mereka juga mengetahui dan menghayati kasihMu. Aku tidak pernah meninggalkan mereka, karena kasihku kepada mereka tetap hidup dan mereka nikmati. Kami berharap semoga keutamaan-keutamaan atau nilai-nilai kehidupan yang telah kuhayati dan kuteruskan kepada mereka tidak hilang musnah tanpa bekas”.

Terhadap mereka yang telah meninggal dunia kita tidak pernah dipisahkan , melainkan semakin disatukan dan didekatkan, yaitu jika kita senantiasa berada dalam Tuhan, menjadi pelaksana-pelaksana kehendak Tuhan, antara lain hidup saling mengasihi sampai mati.

Jakarta, 28 November 2006
Rm. Ignatius Sumarya, SJ

disadur dari : kesaksian

Google
 







 
 

HOT NEWs
from
UK-UAJY BLOG COMMUNITY



Akan dilangsungkan pernikahan
Sdr. BENDOL dengan Sdri. ROSA
Tanggal 25 MAY 2008 di BOYOLALI
diharapkan doa restu dan kedatangan teman-teman